Pagi yang seharusnya sinarnya memberi senyum.
Pagi Jakarta. Saat aku menyapanya di hari senin. Tapi ia malah bermurung saat aku menyapanya. Entah karena cuaca yang mendung atau cuaca yang memang benar - benar buruk. Jakarta yang semakin banyak penduduknya ia seakan menangis melihat kerusakan lingkungan dan keegoisan manusianya.
Aku memang tidak mendengar rintihannya, tapi betapa aku merasakan rasa sedih itu. Kota yang dahulu banyak terdapat pepohonan yang teduh. Udara yang masih segar untuk dihirup. Tapi sekarang, semua orang sangat suka sekali membuang sampah atau terkadang puntung (sisa) rokok yang dibuang sembarangan.
Tikus yang terlindas dijalanan dengan begitu saja. Seandainya mereka mengerti bahwa Tikus juga ciptaan Tuhan yang sangatlah bermanfaat. Tanpa tikus, mungkin rantai makanan takkan sempurna.
Oh Jakarta, aku tahu betapa sedihnya engkau.
Betapa inginnya engkau berkomunikasi dengan penduduk setempat.
No comments:
Post a Comment